Minggu, 13 Mei 2012

BACA :


Tugas Untuk Mata Kuliah
 
Konflik merupakan fenomena sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Hal itu bisa terjadi di manapun dan melanda komunitas manapun. Konflik adalah suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda. Konflik antarkomunitas dalam masyarakat dapat kerap dilihat sebagai kondisi yang wajar, tetapi menjadi tidak wajar mana kala sudah melibatkan tindak kekerasan. Konflik berwajah agama, berlatar belakang etnik, suku, ras dan golongan, serta yang bernuansa politis muncul silih berganti di Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kebhinekaan Indonesia. Sebab secara teoritik, semakin homogen suatu negara maka potensi konflik internalnya akan semakin rendah.
Istilah konflik berasal dari bahasa Latin yakni com dan fligere. Bila diartikan secara harfiah bisa berarti saling tubruk atau saling bentur. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dapat selalu mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebab dalam kancah keragaman di mana manusia yang satu saling bertatap muka dengan manusia lain dalam komunitas masyarakat tentu memiliki perbedaan yang bisa mengarah pada silang pendapat dan lebih jauh menimbulkan konflik fisik. Karenanya konflik akan menghilang apabila masyarakat juga lenyap.
Menurut Max van der Stoel, konflik, termasuk konflik etnik tidak dapat dihindari namun bisa dicegah. Pencegahannya membutuhkan berbagai upaya misalkan dengan mengidentifikasi sumber potensial dari konflik dan menganalisanya sebagai resolusi awal. Namun bila pencegahan tidak berhasil maka peringatan dini perlu diberikan untuk merespons konflik yang lebih serius.
Walaupun bangsa Indonesia telah mengenal hubungan antar budaya yang harmonis sejak nenekmoyang menduduki kepulauan Indonesia ratusan abad yang lalu, namun kini setelah banyak cendekiawan, ulama, politisi, pengusaha maupun ahli hukum yang berwawasan modern, tetap saja sifat instinktif yang residual primitif muncul ke permukaan. Lebih-lebih disaat berbagai konflik kepentingan menyeruak dalam kehidupan bangsa, seperti konflik politik, bisnis, etnis maupun konflik local primordial.

Berbagai peristiwa yang terjadi akibat konflik kepentingan etnis di nusantara akhir-akhir ini seolah-olah menjadi trend dunia. Jika di Afrika terjadi pertikaian etnis antara suku Tutsi dan suku Hutu ( Ruwanda – Burundi ), suku Kurdi di Turki, suku Tamil di Ceylon, maka di Indonesia juga sering terjadi pertikaian etnis seperti Madura, Makassar, Banten, Dayak, Melayu ( Kalbar ) dan suku-suku di Irian ( Papua ). Penyebab utamanya adalah Komunikasi Antar Budaya yang tersumbat. Sungguh aneh dijaman modern ini bisa terjadi, padahal dijaman kuno hubungan antar etnis sering dilakukan oleh saudagar Cina, Madagaskar, India dan bangsa lainnya tanpa pertumpahan darah bahkan sering terjadi perkawinan antar etnis untuk melanggengkan tali kekeluargaan. Kita kenal komunikasi antar budaya Cina ke Eropah dan Asia dengan “ Jalur Sutera, “ yang selain bermisi dagang juga memiliki misi budaya.

Tahap awal komunikasi dilakukan dengan bahasa tubuh, isyarat raut wajah, gerak anggota tubuh ( tangan, mata dll ) sebagai bahasa nonverbal. Kemudian dengan kecerdasan akalnya manusia mulai belajar bahasa etnis lain, sehingga memudahkan komunikasi antar etnis dimuka bumi ini. Kini dengan bantuan kemajuan teknologi komunikasi manusia semakin , cerdas, lugas dan lancar berkomunikasi. Namun demikian lagi-lagi pada saat terdesak oleh kepentingan individu, manusia yang cerdas, alim dan beragamapun kembali menjadi primitif.

·        GEGAR BUDAYA ( CULTURAL SHOCK )
Gegar budaya seperti yang sering terjadi diberbagai kota maupun dipedalaman, menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan tentang budaya etnis, kelompok usia, kelompok agama maupun kelompok tradisi tertentu ditanah air.
Dalam satu RW terjadi pertikaian  antar RT, antar gang, antar pendukung sekte keagamaan bahkan antar pendukung partai. Ironis memang, namun itulah naluri dasar manusia yang paling primitif selalu timbul bila terjadi perbedaan kepentingan ( pribadi, kelompok maupun ajaran tertentu ). Berikut ini factor faktor penyebab terjadinya gegar budaya.
Antropolog Cylde Khuckpohn memperingatkan kita bahwa setiap jalan kehidupan yang berbeda, memiliki asumsi  tentang tujuan keberadaan manusia, tentang apa yang diharapkan dari orang lain dan dari Tuhan, tentang apa yang menjadi kejayaan dan kegagalan. Aspek budaya terbuka ( overt ) dan tertutup         ( covert ) menunjukkan bahwa banyak kegiatan sehari-hari kita dipengaruhi oleh pola  dan tema yang asal ( genuine ) dan maknanya kurang kita sadari. Kelakuan (behavior) dipengaruhi oleh budaya itu memudahkan kebiasaan ( habits ) hidup sehari-hari, sehingga seseorang melakukan banyak perbuatan ( terutama yang aneh, menyimpang dan fatal ) tanpa memikirkan akibat dari perilakunya tersebut. Terjadilah pelaziman budaya ( cultural conditioning ) itu memberikan kebebasan untuk secara sadar memikirkan usaha baru ( inovasi ) yang kreatif. Ekses kebebasan tanpa sadar membuat kelakuan kita dapat menggerakkan timbulnya masalah nasional, seperti rasisme ( etnosentrisme dibeberapa daerah ), yang akibatnya berdampak global. Untuk penyelesaian masalah ini diperlukan peraturan perundang-undangan dan reedukasi dalam upaya menciptakan suasana aman, tenteram, adil, berkepastian hukum bagi seluruh warga.
Dalam budaya multietnis, multi agama, multi dimensional seperti di kota Medan khususnya, terdapat budaya dominan yang sama. Namun juga terdapat subkultur dengan cirri-ciri yang dapat memisahkan dan membedakannya dari sub kelompok lainnya.
Klarifikasi subkultur ini didasarkan kepada : Usia, kelas sosial, jenis kelamin, ras atau etnis lain yang membedakan mikrokultur yang satu dengan mikrokultur yang lainnya. Perbedaan itu bisa didasarkan atas usia, pekerjaan   ( pegawai kantor, buruh perkebunan, pabrik dll ), polisi, tentara, mahasiswa, mungkin juga kelompok dunia bawah tanah ( gay, homo seksual, pengguna narkoba, premanisme  dll ).
·        PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK BUDAYA
Unsur-unsur universal dan keaneka ragaman budaya (universals and cultural diversity) juga menjadi penyebab timbulnya gegar budaya, manakala aktivitas tertentu secara lintas budaya yang bersifat unik oleh masyarakat tertentu tidak dapat diterima oleh kelompok masyarakat lainnya. Hubungan erat antara budaya dan perilaku manusia ini dikomentari oleh Leislie White sebagai suatu penjelasan mengenai perbedaan budaya diantara bangsa itu bersifat kaku, tidak imajinatif dan tidak lazim, kita bisa memandang perilaku ini sebagai perbedaan dalam tradisi budaya yang menggairahkan pendukungnya masing-masing.
Penyebab gegar budaya lainnya adalah perilaku rasional, irasional dan non rasional. Perilaku rasional    dalam suatu budaya didasarkan atas apa yang dianggap masuk akal oleh suatu kelompok dalam mencapai tujuan –tujuan atau kepentingannya. Perilaku irasional menyimpang dari norma-norma menyimpang yang diterima suatu kelompok masyarakat ( etnis, agama, partai, OKP dll ). Kelompok budaya yang  berperilaku irasional biasanya bertindak tanpa logika dan dimungkinkan sebagian besar oleh suatu respons emosional, sedangkan perilaku  nonrasional tidak berdasarkan logika, dan tidak bertentangan dengan pertimbangan masuk akal, semata-mata dipengaruhi oleh budaya atau subkultur seseorang. Berbagai peristiwa seperti Sambas, Sampit, Poso, Ambon, Aceh Banyuangi bisa dikategorikan kedalam jenis ini, suatu ketika kita sadar mengapa melakukan perilaku ini, dan para individu yang terlibat juga kadang tidak sadar dan percaya mengapa melakukan. Bahkan mungkin dipengaruhi oleh prasangka yang berat sebelah memandang perbedaan kultur. Bahkan pertentangan politik dapat dibawa ke lembaga mental psikologis, karena perilaku mereka sering dianggap irasional ataupun non rasional. ( contoh PKB, Golkar, Muhammadyah di Jatim ).
Faktor penting lainnya pemicu gegar budaya, manakala kita tidak memahaminya adalah TRADISI. Tradisi melengkapi masyarakat dengan suatu tatanan mental yang berpengaruh kuat atas sistem moral untuk menilai apa yang dianggap benar atau salah, baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Suatu budaya diekspresikan dalam tradisi, tradisi yang memberikan para anggotanya suatu rasa memiliki dalam suatu keunikan budaya. Tradisi juga dimiliki oleh suatu organisasi sipil, militer, agama dan suatu kelompok masyarakat ( perhatikan ucapara keprotokolan mereka ).
Tradisi walaupun merupakan norma dan prosedur yang harus ditaati bersama, juga harus menyesuaikan dengan perkembangan jaman, pengetahuan dan teknologi menuju terciptanya budaya global.
Perbedaan-perbedaan budaya dengan segala keunikannya, merupakan pemicu “ benturan budaya “, bila manager kosmopolitan yang multicultural tidak mampu mencermati perobahan jaman. Mereka harus mampu menghargai dan mampu berkomunikasi dengan kelompok budaya yang ada dalam wewenang manajerialnya. Tidak memaksakan sikap-sikap ( attitudes ) dan pendekatan-pendekatan budaya yang dimilikinya terhadap orang lain. Sikap menghargai budaya oranglain yang  beda merupakan syarat kepemimpinan multi budaya dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sikap ini mutlak dimiliki bila tidak ingin disebut Pemimpin Etnosentrisme.

·        CONTOH KONFLIK_KONFLIK BUDAYA DI TANAH AIR
Di tanah air misalnya, ketika masih memberontak, para Tokoh GAM berulang kali mengungkapkan kekesalannya, karena kekayaan alam Aceh yang berlimpah ruah dikeruk oleh pemerintah pusat. Mereka mengacu pada kenyataan bahwa tanah Aceh memiliki cadangan minyak dan gas alam yang melimpah ruah, namun masih banyak rakyat Aceh yang hidup miskin.
Konflik yang terbesar dan yang paling mengerikan di Indonesia, yakni konflik Maluku, juga berasal dari persoalan ekonomi. Jadi salah kalau ada anggapan yang mengatakan bahwa konflik Maluku itu diakibatkan oleh gerakan separatis yang kerap digembar-gemborkan oleh para aktivis Republik Maluku Selatan (RMS). Kita juga tidak boleh percaya bahwa konflik itu adalah perang islam melawan krsiten. Nama kedua agama besar tersebut dicatut oleh oleh kelompok elit setempat agar mudah memobilisasi massa.
Pencatutan atas nama agama tersebut, akhirnya mengobarkan rasa benci yang sangat mendalam di antara para pemeluknya. Lihat saja, mereka tidak segan-segan memperlakukan para tawanan seolah seperti binatang, sehingga banyak yang tewas karena disembelih. Bahkan ada anggapan di antara mereka, semakin banyak membunuh maka semakin cepat pula ia masuk surga. Demikian pula ketika membakar rumah ibadah milik agama lain, padahal mereka tidak tahu bahwa di tempat itulah nama Tuhan selalu dipuja.
Pada dasarnya konflik Ambon diawali oleh jatuhnya harga Cengkih dari Rp 10 Ribu menjadi Rp. 2 Ribu setiap kilogram. Para petani cengkih yang kebetulan kebanyakan menganut agama Nasrani, menjadi sangat tertekan secara ekonomi dan psikologis. Maklum setelah bertahun-tahun hidup makmur, tiba-tiba saja mereka harus hidup miskin.
Sebaliknya para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara yang umumnya beragama Muslim, justru makin makmur. Ini karena mereka menguasai bisnis angkutan kota, perdagangan antar pulau, dan lain sebagainya. Bahkan orang Muslim menduduki kursi Gubernur yang sebelumnya selalu dikuasai oleh orang Nasrani.
Tanpa latar belakang seperti itu, sebuah konflik antara seorang supir angkutan umum dan seorang preman pada januari 1999 tak mungkin bisa berujung pada bentrokan berdarah antara islam dan kristen. Apalagi konflik tersebut berlangsung selama bertahun tahun, dan baru bisa mereda sebelum pada akhirnya mereda dan berhenti setelah deklarasi Malino II ditanda tangani pada 12 Februari 2002 di Malino Sulawesi Selatan.
Sebelum deklarasi tersebut ditanda tangani, saya memberi pilihan kepada para pemimpin kelompok yang bertikai, yang saya namakan pilihan “madu dan racun”. Saya katakan kepada mereka, kalau memilih “racun” maka pemerintah akan memberikan senjata kepada kelompok yang sedang bertikai sehingga semua orang maluku punah”. Tapi kalau mereka memilih madu maka mereka harus membuka pintu dialog, dan percaya penuh kepada pemerintah sebagai mediator. Para pemimpin kelompok yang hadir tampak sangat kaget atas opsi yang saya kasi, dan akhirnya mereka memilih untuk berdamai.
Demikian juga konflik berdarah di Poso, bukan diakibatkan oleh ideologi semata. Ia lebih disebabkan oleh konflik politik, terkait dengan pemilihan Bupati di Poso. Tanpa latar belakang masalah ini, maka tida mungkin hanya karena masalah sepele yakni perkelahian antara dua pemuda yang berbeda agama bisa meledak menjadi kerusuhan yang sangat dahsyat. Walau mau dianalogikan, konflik poso ibarat tinta yang ditumpahkan di atas kertas buram,. Yang mana tinta itu secara perlahan merembet ke seluruh penjuru kertas tersebut. Rembesan ini kemudian menjadi tak terkendali karena demikian banyak akotr intelektual yang coba memancing di air keruh. Dengan cara mengobarkan kebencian di antara pemeluk agama.
Situasi kemudian diperburuk oleh celoteh aktivis HAM, pengamat dan politisi Jakarta yang tak paham betul apa persoalan sebenarnya. Mereka memperuncing keadaan dengan menuduh aparat dan pemerintah sebagai biang keladi. Saya benar-benar jengkel karena banyak dari mereka belum pernah ke Poso.
Bila mengikuti celotehan yang tidak berujung pangkal tersebut, pemerintah seakan akan tidak bisa berbuat apa-apa. Bayangkan ketika petugas keamanan menembak, mereka langsung dikecam telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang, atau melakukan pelanggaran HAM. Demikian pula ketika mereka memburu dan menangkap para pelaku kekerasan dan kejahatan.
Bertolak dari pengalaman pengalaman tersebut, saya berkesimpulan kita tidak bisa mengandalakan satu platform untuk menyelesaikan semua konflik. Selain faktor penyebabnya berbeda beda, juga lantaran adanya latar belakang sosial-budaya dam tingkat keparahan konflik yang terjadi.
Latar belakang tokoh setempat juga harus diperhatikan. Itu karena latar belakang pendidikan, agama, dan pergaulan sosial politiknya sangat menentukan perilaku dan pola pikirnya. Dengan bekal seperti itulah, kita baru bisa menemukan ramuan yang tepat untuk menyelesaikan sebuah konflik horizontal.
Pada dasarnya, ada satu landasan utama yang bisa dipakai untuk menyelesaikan segala macam konflik. Itulah yang namanya perundingan. Tugas terberat dalam hal ini mencari ruang perundingan, yang disetujui oleh semua pihak. Kegagalan untuk menemukan ruang perundingan tersebut bisa menyebabkan seluruh rencana perdamaian mengalami kemacetan total.
Ruang yang dimaksud di sini adalah apa yang bisa dirundingkan dan apa yang tidak bisa. Dalam kasus Aceh misalnya pemerintah sudah memberi harga mati terhadap NKRI. Dan Pihak GAM sudah menyatakan kata “MENYERAH” tidak ada dalam kasus mereka. Untuk itu sebelum mulai mengajak berdamai saya bilang kepada para pemimpin GAM, “ Anda mau perang atau damai?kalau mau perang ayo kita perang, saya ladeni. Tapi ingat yang korban orang Aceh juga karena semua TNI yang saya kirim mereka yang berasal dari ACEH. “ Pemimpin GAM bilang “wah tidak bisa begitu!” Maka saya jawab “kalau begitu mari kita damai”
Dan seperti yang kita lihat dan baca pada postingan saya sebelumnya, akhirnya perdamaian Aceh bisa tercipta. Coba kalau damai di Aceh belum tercipta, maka rata-rata orang Aceh yang terbunuh setiap harinya antara 4-5 orang. Maka bisa dibayangkan kalau konflik terjadi selama 30 Tahun maka bisa 50 ribu orang yang jadi korban. Itulah maknanya mengapa kita harus bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Bergerak cepat bukan berarti tidak bisa tepat, sebab kalau mau pakai analogi kereta api, di Indonesia Kereta Apinya lamban tapi sering kecelakaan, dibanding Jepang keretanya super cepat tapi jarang kecelakaan.
Dan yang terakhir, berhubung hari ini adalah hari lahirnya pancasila, maka kita harus memegang spirit utama dari pancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika. Yakni keragaman kita adalah kekuatan kita. Waktu saya mau mendamaikan Aceh, ada orang arab yang mau ikut, saya tanya “kenapa mau ikut?” Dia bilang “saya mau kasi tau orang Aceh, bahwa anda masih beruntung daripada kami orang Arab, di tanah arab bahasa cuman satu, warna kulit hampir sama, agama sama, budaya sama tapi kami pecah sampai 18 negara, kalau di Indonesia ada 300 bahasa, 300 bahasa macam-macam warna kulit tapi ia masih bisa bersatu”



Tulisan ini diadaptasikan dari berbagai sumber :

1.      Komunikasi Antar Budaya, cetakan kelima Pebruari 2000 ( DR. Deddy Mulyana, MA, - Drs. Jalaluddin Rakhmad, M.Sc ).

2.      The Leader of The Future, cetakan kedua Agustus 1997 ( Frances Hesselbein, Marshall Goldsmith, Richard Beck hards – editor ).

3.      Leadership and The New Science, cetakan pertama, Mei 1997 ( Margaret J. Wheatley ).

4.      http://umum.kompasiana.com/2009/06/01/konflik-di-indonesia-penyebab-dan-penyelesaiannya/