Tugas Untuk Mata Kuliah
Konflik
merupakan fenomena sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari
manusia. Hal itu bisa terjadi di manapun dan melanda komunitas manapun. Konflik
adalah suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke
tatanan sosial yang berbeda. Konflik
antarkomunitas dalam masyarakat dapat kerap dilihat sebagai kondisi yang wajar,
tetapi menjadi tidak wajar mana kala sudah melibatkan tindak kekerasan. Konflik
berwajah agama, berlatar belakang etnik, suku, ras dan golongan, serta yang
bernuansa politis muncul silih berganti di Indonesia. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari kebhinekaan Indonesia. Sebab secara teoritik, semakin
homogen suatu negara maka potensi konflik internalnya akan semakin rendah.
Istilah
konflik berasal dari bahasa Latin yakni com dan fligere. Bila diartikan secara
harfiah bisa berarti saling tubruk atau saling bentur. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dapat selalu mewarnai
kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebab dalam kancah keragaman di mana manusia
yang satu saling bertatap muka dengan manusia lain dalam komunitas masyarakat
tentu memiliki perbedaan yang bisa mengarah pada silang pendapat dan lebih jauh
menimbulkan konflik fisik. Karenanya konflik akan menghilang apabila masyarakat
juga lenyap.
Menurut Max van der Stoel,
konflik, termasuk konflik etnik tidak dapat dihindari namun bisa dicegah.
Pencegahannya membutuhkan berbagai upaya misalkan dengan mengidentifikasi
sumber potensial dari konflik dan menganalisanya sebagai resolusi awal. Namun
bila pencegahan tidak berhasil maka peringatan dini perlu diberikan untuk
merespons konflik yang lebih serius.
Walaupun
bangsa Indonesia telah mengenal hubungan antar budaya yang harmonis sejak
nenekmoyang menduduki kepulauan Indonesia ratusan abad yang lalu, namun kini
setelah banyak cendekiawan, ulama, politisi, pengusaha maupun ahli hukum yang
berwawasan modern, tetap saja sifat instinktif yang residual primitif
muncul ke permukaan. Lebih-lebih disaat berbagai konflik kepentingan menyeruak
dalam kehidupan bangsa, seperti konflik politik, bisnis, etnis maupun konflik
local primordial.
Berbagai peristiwa yang terjadi akibat konflik kepentingan
etnis di nusantara akhir-akhir ini seolah-olah menjadi trend dunia. Jika di
Afrika terjadi pertikaian etnis antara suku Tutsi dan suku Hutu ( Ruwanda –
Burundi ), suku Kurdi di Turki, suku Tamil di Ceylon, maka di Indonesia juga
sering terjadi pertikaian etnis seperti Madura, Makassar, Banten, Dayak, Melayu
( Kalbar ) dan suku-suku di Irian ( Papua ). Penyebab utamanya adalah Komunikasi
Antar Budaya yang tersumbat. Sungguh aneh dijaman modern ini bisa
terjadi, padahal dijaman kuno hubungan antar etnis sering dilakukan oleh
saudagar Cina, Madagaskar, India dan bangsa lainnya tanpa pertumpahan darah
bahkan sering terjadi perkawinan antar etnis untuk melanggengkan tali
kekeluargaan. Kita kenal komunikasi antar budaya Cina ke Eropah dan Asia dengan
“ Jalur Sutera, “ yang selain bermisi dagang juga memiliki misi budaya.
Tahap awal komunikasi dilakukan dengan bahasa tubuh, isyarat
raut wajah, gerak anggota tubuh ( tangan, mata dll ) sebagai bahasa nonverbal.
Kemudian dengan kecerdasan akalnya manusia mulai belajar bahasa etnis lain,
sehingga memudahkan komunikasi antar etnis dimuka bumi ini. Kini dengan bantuan
kemajuan teknologi komunikasi manusia semakin , cerdas, lugas dan lancar
berkomunikasi. Namun demikian lagi-lagi pada saat terdesak oleh kepentingan
individu, manusia yang cerdas, alim dan beragamapun kembali menjadi primitif.
·
GEGAR BUDAYA ( CULTURAL SHOCK )
Gegar budaya seperti yang sering terjadi diberbagai kota
maupun dipedalaman, menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan tentang budaya
etnis, kelompok usia, kelompok agama maupun kelompok tradisi tertentu ditanah
air.
Dalam satu RW terjadi pertikaian antar RT, antar gang, antar pendukung sekte
keagamaan bahkan antar pendukung partai. Ironis memang, namun itulah naluri
dasar manusia yang paling primitif selalu timbul bila terjadi perbedaan
kepentingan ( pribadi, kelompok maupun ajaran tertentu ). Berikut ini factor faktor
penyebab terjadinya gegar budaya.
Antropolog Cylde Khuckpohn memperingatkan kita bahwa setiap
jalan kehidupan yang berbeda, memiliki asumsi
tentang tujuan keberadaan manusia, tentang apa yang diharapkan dari
orang lain dan dari Tuhan, tentang apa yang menjadi kejayaan dan kegagalan.
Aspek budaya terbuka ( overt ) dan tertutup ( covert ) menunjukkan bahwa banyak
kegiatan sehari-hari kita dipengaruhi oleh pola
dan tema yang
asal ( genuine ) dan maknanya kurang kita sadari. Kelakuan (behavior)
dipengaruhi oleh budaya itu memudahkan kebiasaan ( habits ) hidup sehari-hari,
sehingga seseorang melakukan banyak perbuatan ( terutama yang aneh, menyimpang
dan fatal ) tanpa memikirkan akibat dari perilakunya tersebut. Terjadilah
pelaziman budaya ( cultural conditioning ) itu memberikan kebebasan untuk
secara sadar memikirkan usaha baru ( inovasi ) yang kreatif. Ekses kebebasan
tanpa sadar membuat kelakuan kita dapat menggerakkan timbulnya masalah
nasional, seperti rasisme ( etnosentrisme dibeberapa daerah ), yang akibatnya
berdampak global. Untuk penyelesaian masalah ini diperlukan peraturan
perundang-undangan dan reedukasi dalam upaya menciptakan suasana aman,
tenteram, adil, berkepastian hukum bagi seluruh warga.
Dalam budaya multietnis, multi agama, multi dimensional
seperti di kota Medan khususnya, terdapat budaya dominan yang sama. Namun juga
terdapat subkultur dengan cirri-ciri yang dapat memisahkan dan membedakannya
dari sub kelompok lainnya.
Klarifikasi
subkultur ini didasarkan kepada : Usia, kelas sosial, jenis kelamin, ras atau
etnis lain yang membedakan mikrokultur yang satu dengan mikrokultur yang
lainnya. Perbedaan itu bisa didasarkan atas usia, pekerjaan ( pegawai kantor, buruh perkebunan, pabrik
dll ), polisi, tentara, mahasiswa, mungkin juga kelompok dunia bawah tanah (
gay, homo seksual, pengguna narkoba, premanisme
dll ).
·
PENYEBAB
TIMBULNYA KONFLIK BUDAYA
Unsur-unsur universal dan keaneka ragaman budaya (universals
and cultural diversity) juga menjadi penyebab timbulnya gegar budaya, manakala
aktivitas tertentu secara lintas budaya yang bersifat unik oleh masyarakat
tertentu tidak dapat diterima oleh kelompok masyarakat lainnya. Hubungan erat
antara budaya dan perilaku manusia ini dikomentari oleh Leislie White sebagai
suatu penjelasan mengenai perbedaan budaya diantara bangsa itu bersifat kaku,
tidak imajinatif dan tidak lazim, kita bisa memandang perilaku ini sebagai
perbedaan dalam tradisi budaya yang menggairahkan pendukungnya masing-masing.
Penyebab gegar budaya lainnya adalah perilaku rasional,
irasional dan non rasional. Perilaku rasional dalam suatu budaya didasarkan atas apa yang
dianggap masuk akal oleh suatu kelompok dalam mencapai tujuan –tujuan atau
kepentingannya. Perilaku irasional menyimpang dari
norma-norma menyimpang yang diterima suatu kelompok masyarakat ( etnis, agama,
partai, OKP dll ). Kelompok budaya yang
berperilaku irasional biasanya bertindak tanpa logika dan dimungkinkan
sebagian besar oleh suatu respons emosional, sedangkan perilaku nonrasional
tidak berdasarkan logika, dan tidak bertentangan dengan pertimbangan
masuk akal, semata-mata dipengaruhi oleh budaya atau subkultur seseorang.
Berbagai peristiwa seperti Sambas, Sampit, Poso, Ambon, Aceh Banyuangi bisa
dikategorikan kedalam jenis ini, suatu ketika kita sadar mengapa melakukan
perilaku ini, dan para individu yang terlibat juga kadang tidak sadar dan
percaya mengapa melakukan. Bahkan mungkin dipengaruhi oleh prasangka yang berat
sebelah memandang perbedaan kultur. Bahkan pertentangan politik dapat dibawa ke
lembaga mental psikologis, karena perilaku mereka sering dianggap irasional
ataupun non rasional. ( contoh PKB, Golkar, Muhammadyah di Jatim ).
Faktor penting lainnya pemicu gegar budaya, manakala kita
tidak memahaminya adalah TRADISI. Tradisi
melengkapi masyarakat dengan suatu tatanan mental yang
berpengaruh kuat atas sistem moral untuk menilai apa yang dianggap benar atau
salah, baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Suatu budaya
diekspresikan dalam tradisi, tradisi yang memberikan para anggotanya suatu rasa
memiliki dalam suatu keunikan budaya. Tradisi juga dimiliki oleh suatu
organisasi sipil, militer, agama dan suatu kelompok masyarakat ( perhatikan
ucapara keprotokolan mereka ).
Tradisi
walaupun merupakan norma dan prosedur yang harus ditaati bersama, juga harus
menyesuaikan dengan perkembangan jaman, pengetahuan dan teknologi menuju
terciptanya budaya global.
Perbedaan-perbedaan
budaya dengan segala keunikannya, merupakan pemicu “ benturan budaya “, bila
manager kosmopolitan yang multicultural tidak mampu mencermati perobahan jaman.
Mereka harus mampu menghargai dan mampu berkomunikasi dengan kelompok budaya
yang ada dalam wewenang manajerialnya. Tidak memaksakan sikap-sikap ( attitudes
) dan pendekatan-pendekatan budaya yang dimilikinya terhadap orang lain. Sikap
menghargai budaya oranglain yang beda
merupakan syarat kepemimpinan multi budaya dalam rangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia sikap ini mutlak dimiliki bila tidak ingin disebut Pemimpin Etnosentrisme.
·
CONTOH KONFLIK_KONFLIK
BUDAYA DI TANAH AIR
Di tanah air
misalnya, ketika masih memberontak, para Tokoh GAM berulang kali mengungkapkan
kekesalannya, karena kekayaan alam Aceh yang berlimpah ruah dikeruk oleh
pemerintah pusat. Mereka mengacu pada kenyataan bahwa tanah Aceh memiliki
cadangan minyak dan gas alam yang melimpah ruah, namun masih banyak rakyat Aceh
yang hidup miskin.
Konflik yang
terbesar dan yang paling mengerikan di Indonesia, yakni konflik Maluku, juga
berasal dari persoalan ekonomi. Jadi salah kalau ada anggapan yang mengatakan
bahwa konflik Maluku itu diakibatkan oleh gerakan separatis yang kerap
digembar-gemborkan oleh para aktivis Republik Maluku Selatan (RMS). Kita juga
tidak boleh percaya bahwa konflik itu adalah perang islam melawan krsiten. Nama
kedua agama besar tersebut dicatut oleh oleh kelompok elit setempat agar mudah
memobilisasi massa.
Pencatutan atas nama agama
tersebut, akhirnya mengobarkan rasa benci yang sangat mendalam di antara para
pemeluknya. Lihat saja, mereka tidak segan-segan memperlakukan para tawanan
seolah seperti binatang, sehingga banyak yang tewas karena disembelih. Bahkan
ada anggapan di antara mereka, semakin banyak membunuh maka semakin cepat pula
ia masuk surga. Demikian pula ketika membakar rumah ibadah milik agama lain,
padahal mereka tidak tahu bahwa di tempat itulah nama Tuhan selalu dipuja.
Pada dasarnya
konflik Ambon diawali oleh jatuhnya harga Cengkih dari Rp 10 Ribu menjadi Rp. 2
Ribu setiap kilogram. Para petani cengkih yang kebetulan kebanyakan menganut
agama Nasrani, menjadi sangat tertekan secara ekonomi dan psikologis. Maklum
setelah bertahun-tahun hidup makmur, tiba-tiba saja mereka harus hidup miskin.
Sebaliknya para pendatang dari
Sulawesi Selatan dan Tenggara yang umumnya beragama Muslim, justru makin makmur.
Ini karena mereka menguasai bisnis angkutan kota, perdagangan antar pulau, dan
lain sebagainya. Bahkan orang Muslim menduduki kursi Gubernur yang sebelumnya
selalu dikuasai oleh orang Nasrani.
Tanpa latar belakang seperti
itu, sebuah konflik antara seorang supir angkutan umum dan seorang preman pada
januari 1999 tak mungkin bisa berujung pada bentrokan berdarah antara islam dan
kristen. Apalagi konflik tersebut berlangsung selama bertahun tahun, dan baru
bisa mereda sebelum pada akhirnya mereda dan berhenti setelah deklarasi Malino
II ditanda tangani pada 12 Februari 2002 di Malino Sulawesi Selatan.
Sebelum deklarasi tersebut
ditanda tangani, saya memberi pilihan kepada para pemimpin kelompok yang
bertikai, yang saya namakan pilihan “madu dan racun”. Saya katakan kepada
mereka, kalau memilih “racun” maka pemerintah akan memberikan senjata kepada
kelompok yang sedang bertikai sehingga semua orang maluku punah”. Tapi kalau
mereka memilih madu maka mereka harus membuka pintu dialog, dan percaya penuh
kepada pemerintah sebagai mediator. Para pemimpin kelompok yang hadir tampak
sangat kaget atas opsi yang saya kasi, dan akhirnya mereka memilih untuk
berdamai.
Demikian juga konflik berdarah
di Poso, bukan diakibatkan oleh ideologi semata. Ia lebih disebabkan oleh
konflik politik, terkait dengan pemilihan Bupati di Poso. Tanpa latar belakang
masalah ini, maka tida mungkin hanya karena masalah sepele yakni perkelahian
antara dua pemuda yang berbeda agama bisa meledak menjadi kerusuhan yang sangat
dahsyat. Walau mau dianalogikan,
konflik poso ibarat tinta yang ditumpahkan di atas kertas buram,. Yang mana
tinta itu secara perlahan merembet ke seluruh penjuru kertas tersebut. Rembesan
ini kemudian menjadi tak terkendali karena demikian banyak akotr intelektual
yang coba memancing di air keruh. Dengan cara mengobarkan kebencian di antara
pemeluk agama.
Situasi kemudian diperburuk oleh celoteh aktivis HAM, pengamat dan politisi Jakarta yang tak paham betul apa persoalan sebenarnya. Mereka memperuncing keadaan dengan menuduh aparat dan pemerintah sebagai biang keladi. Saya benar-benar jengkel karena banyak dari mereka belum pernah ke Poso.
Situasi kemudian diperburuk oleh celoteh aktivis HAM, pengamat dan politisi Jakarta yang tak paham betul apa persoalan sebenarnya. Mereka memperuncing keadaan dengan menuduh aparat dan pemerintah sebagai biang keladi. Saya benar-benar jengkel karena banyak dari mereka belum pernah ke Poso.
Bila mengikuti celotehan yang
tidak berujung pangkal tersebut, pemerintah seakan akan tidak bisa berbuat
apa-apa. Bayangkan ketika petugas keamanan menembak, mereka langsung dikecam
telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang, atau melakukan pelanggaran HAM.
Demikian pula ketika mereka memburu dan menangkap para pelaku kekerasan dan
kejahatan.
Bertolak dari
pengalaman pengalaman tersebut, saya berkesimpulan kita tidak bisa
mengandalakan satu platform untuk menyelesaikan semua konflik. Selain faktor
penyebabnya berbeda beda, juga lantaran adanya latar belakang sosial-budaya dam
tingkat keparahan konflik yang terjadi.
Latar belakang tokoh setempat
juga harus diperhatikan. Itu karena latar belakang pendidikan, agama, dan
pergaulan sosial politiknya sangat menentukan perilaku dan pola pikirnya.
Dengan bekal seperti itulah, kita baru bisa menemukan ramuan yang tepat untuk
menyelesaikan sebuah konflik horizontal.
Pada
dasarnya, ada satu landasan utama yang bisa dipakai untuk menyelesaikan segala
macam konflik. Itulah yang namanya perundingan. Tugas terberat dalam hal ini
mencari ruang perundingan, yang disetujui oleh semua pihak. Kegagalan untuk
menemukan ruang perundingan tersebut bisa menyebabkan seluruh rencana
perdamaian mengalami kemacetan total.
Ruang yang dimaksud di sini adalah apa yang bisa
dirundingkan dan apa yang tidak bisa. Dalam kasus Aceh misalnya pemerintah
sudah memberi harga mati terhadap NKRI. Dan Pihak GAM sudah menyatakan kata
“MENYERAH” tidak ada dalam kasus mereka. Untuk itu sebelum mulai mengajak
berdamai saya bilang kepada para pemimpin GAM, “ Anda mau perang atau
damai?kalau mau perang ayo kita perang, saya ladeni. Tapi ingat yang korban
orang Aceh juga karena semua TNI yang saya kirim mereka yang berasal dari ACEH.
“ Pemimpin GAM bilang “wah
tidak bisa begitu!” Maka saya
jawab “kalau begitu mari kita damai”
Dan seperti yang kita lihat dan baca pada
postingan saya sebelumnya, akhirnya perdamaian Aceh bisa tercipta. Coba kalau
damai di Aceh belum tercipta, maka rata-rata orang Aceh yang terbunuh setiap
harinya antara 4-5 orang. Maka bisa dibayangkan kalau konflik terjadi selama 30
Tahun maka bisa 50 ribu orang yang jadi korban. Itulah maknanya mengapa kita
harus bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Bergerak cepat
bukan berarti tidak bisa tepat, sebab kalau mau pakai analogi kereta api, di
Indonesia Kereta Apinya lamban tapi sering kecelakaan, dibanding Jepang
keretanya super cepat tapi jarang kecelakaan.
Dan yang terakhir, berhubung hari ini adalah hari lahirnya pancasila, maka kita harus memegang spirit utama dari pancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika. Yakni keragaman kita adalah kekuatan kita. Waktu saya mau mendamaikan Aceh, ada orang arab yang mau ikut, saya tanya “kenapa mau ikut?” Dia bilang “saya mau kasi tau orang Aceh, bahwa anda masih beruntung daripada kami orang Arab, di tanah arab bahasa cuman satu, warna kulit hampir sama, agama sama, budaya sama tapi kami pecah sampai 18 negara, kalau di Indonesia ada 300 bahasa, 300 bahasa macam-macam warna kulit tapi ia masih bisa bersatu”
Dan yang terakhir, berhubung hari ini adalah hari lahirnya pancasila, maka kita harus memegang spirit utama dari pancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika. Yakni keragaman kita adalah kekuatan kita. Waktu saya mau mendamaikan Aceh, ada orang arab yang mau ikut, saya tanya “kenapa mau ikut?” Dia bilang “saya mau kasi tau orang Aceh, bahwa anda masih beruntung daripada kami orang Arab, di tanah arab bahasa cuman satu, warna kulit hampir sama, agama sama, budaya sama tapi kami pecah sampai 18 negara, kalau di Indonesia ada 300 bahasa, 300 bahasa macam-macam warna kulit tapi ia masih bisa bersatu”
Tulisan
ini diadaptasikan dari berbagai sumber :
1.
Komunikasi Antar Budaya, cetakan kelima
Pebruari 2000 ( DR. Deddy Mulyana, MA, - Drs. Jalaluddin Rakhmad, M.Sc ).
2.
The Leader of The Future, cetakan kedua
Agustus 1997 ( Frances Hesselbein, Marshall Goldsmith, Richard Beck hards –
editor ).
3.
Leadership and The New Science, cetakan
pertama, Mei 1997 ( Margaret J. Wheatley ).
4.
http://umum.kompasiana.com/2009/06/01/konflik-di-indonesia-penyebab-dan-penyelesaiannya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar